Senin, 13 Juni 2011

Melatih Anak Laki-laki Mengelola Emosi


Jika sejak belia, anak laki-laki terbiasa mengelola emosinya dengan baik, ia akan tumbuh menjadi pria baik kelak saat dewasa. Pria baik yang kuat, mandiri dan bertanggungjawab tak hanya membanggakan keluarganya, namun juga Anda sebagai orangtuanya. Sebagai orangtua, Anda sukses mencetak laki-laki yang dapat diandalkan di kemudian hari.

"Anak yang bisa mengelola emosinya mampu mengungkapkan perasaannya. Kemampuan ini berawal dari bagaimana pengasuhan orangtuanya. Jika anak Anda sedih dan menangis, lalu Anda melarangnya dan menganggap kesedihannya hal sepele, anak belajar menyembunyikan perasaan," kata psikolog Christine Nicholson, PhD.


Penelitian menunjukkan orangtua cenderung lebih memedulikan bagaimana perasaan anak perempuan daripada anak laki-lakinya. Ketika anak perempuan merasa sedih, orangtua akan bersikap lebih lembut. Sedangkan anak laki-laki dipaksakan untuk selalu kuat meski mereka sedang merasa sedih. Anak laki-laki terbiasa tak boleh sedih. Pengasuhan seperti ini justru membuat anak laki-laki terlatih menyembunyikan perasaannya. Mereka merasa malu jika menunjukkan kesedihan. Pada akhirnya anak laki-laki tak bisa berkomunikasi dengan baik.


Orangtua punya peran dalam mencetak generasi laki-laki kuat tanpa takut menunjukkan perasaannya. Anda, sebagai orangtua, bisa menciptakan sosok laki-laki yang mampu mengelola emosi dengan baik dengan cara:


* Pancing anak bicara Anak laki-laki Anda juga membutuhkan perhatian dan bisa diajak bicara terbuka seperti Anda berbicara dengan anak perempuan. Pancing anak laki-laki Anda untuk bicara terbuka mengenai perasaannya. Nicholson menyontohkan, saat pulang sekolah, anak laki-laki Anda terlihat sedih. Segera buka pembicaraan dengannya, "Kamu terlihat sedih, ada apa? ada yang Ibu bisa bantu? Sepertinya kok Ibu merasa ada sesuatu yang buruk terjadi di sekolah".

Gunakan cara bicara yang akan membuat Anak terpancing bercerita. Jika anak mulai bicara, berikan dukungan, termasuk menghargai perasaannya saat itu. Berikan komentar yang membuat anak merasa ia didukung oleh orangtuanya. Meski ia sedih dan stres dengan tugas sekolah yang menumpuk, ia tahu bahwa orangtuanya memahami perasaannya dan selalu ada di sampingnya. Jangan memberikan ceramah pada anak, jelas Nicholson.


* Bantu anak mencari solusi "Anak laki-laki cenderung fokus pada masalah yang dihadapi daripada emosi," kata Dan Kindlon, PhD, dosen di Harvard School of Public Health yang juga penulis buku Raising Cain: Protecting the Emotional Life of Boys.


Tugas orangtua adalah mengajarkan anak laki-laki bahwa perasaan kecewa, sedih, marah, takut adalah wajar dan ajarkan anak laki-laki untuk mengenali dan menerima perasaan tersebut. Anak laki-laki perlu menyadari perasaan tersebut adalah bagian dalam dirinya, yang mungkin saja tak langsung bisa disingkirkannya. Dengan memahami perasaan, anak laki-laki akan mulai menerima dirinya, dan mengenali masalahnya. Dengan begitu ia akan terbantukan untuk mencari solusi dari masalahnya, setelah ia bisa mengatasi emosinya.

*Sumber : kompas.com

Jumat, 03 Juni 2011

Berpisah dari Dot


Bayi memang mempunyai kebiasaan mengisap sesuatu. Kebiasaan mengisap merupakan cara dan upaya alami bayi untuk mendapatkan rasa tenang dan nyaman. Namun kebiasaan ini harus dibatasi karena dapat mengganggu pertumbuhan gigi dan kesehatan gusi.

  • Saatnya tepat. Mulailah membatasi pemakaian dot ketika bayi sudah berumur sekitar 6 bulan. Idealnya, anak sudah benar-benar terlepas dari dot sebelum mulai belajar bicara.
  • Bertahap. Kurangi sedikit demi sedikit pemakaian dot. Misalnya hanya saat menjelang tidur atau ketika dia sedang sakit.
  • Siapkan pengganti. Ketika si kecil meminta dot, Anda dapat menggantinya dengan benda lain yang dapat membuatnya merasa nyaman. Misalnya, selimut, boneka kesayangannya untuk dipeluk, atau beri si kecil pelukan hangat penuh kasih sayang.
  • Beri hadiah setiap kali dia berhasil mengatasi keinginannya untuk mengisap dot. Misalnya, memberinya minuman jus buah yang segar.
*sumber : ayahbunda.co.id